Wacana Pendidikan Islam di Indonesia
Senin, 20 Mei 2013
0
komentar
Wacana Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dalam
perkembangannya hingga saat ini telah mengalami beberapa pergeseran paradigma
dalam penentuan konsep dan tujuannya, sehingga membuat beberapa pemikir
pendidikan mencoba mengulang-ulang dan merumuskan kembali konsep dan tujuan
pendidikan Islam agar benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksud dalam
al-Qur’an. Karena sejatinya pendidikan Islam bukanlah sesuatu hal yang
harus dan dapat disamakan secara keseluruhan dengan konsep dan tujuan
pendidikan yang ada di Barat saat ini. Tulisan ini mencoba untuk menelaah
kembali konsep dan tujuan pendidikan Islam yang difokuskan pada pemikiran Syed
Mohammad Naquib al-Attas dan beberapa tokoh lainnya, dengan harapan pendidikan
Islam yang sudah terimplementasikan saat ini tidak bertentangan dengan konsep
dan tujuan pendidikan Islam yang ada dalam al-Qur’an dan
al-Hadith. <span>.
Pendahuluan
Pembicaraan mengenai bagaimana mengentaskan pendidikan saat ini dari
keterpurukannya terus saja dilakukan, mulai peningkatan dana yang dialokasikan
menjadi 20 persen adalah salah satu dari usaha tersebut.
Akan tetapi sayangya, persepsi mereka tentang pendidikan khususnya pendidikan
Islam tampaknya mengalami pergeseran pemahaman dalam konsepnya, sehingga
mengakibatkan penerapan dari konsep yang salah tersebut hingga saat ini tidak
mengalami perbaikan.
Pergeseran pemahaman tersebut tidak dapat kita lepaskan dari pengaruh faham
Barat yang terus saja dipaksakan untuk kita telan mentah-mentah dan harus kita
ikuti kiblatnya. Terlihat dengan munculnya pelajaran khusus yang membahas
tentang “Perbandingan Pendidikan” diberbagai negara.
Pelajaran tersebut tentunya dapat kita tangkap sebagai usaha untuk mencari
bentuk pendidikan yang ideal saat ini dari negara-negara maju dan perkembang
sekalipun.
Pendidikan di zaman keemasan Islam pada masa Khulafa ar-Rrashidin, zaman
keemasan Dinasti Abasiyah, Umayah dan Dinasti Usmaniyah seakan terlupakan,
sehingga mereka lebih sibuk membandingkan model dan sistem pendidikan pada
negara-negara maju di Barat saat ini.
Walaupun demikian, kita tidak
dapat begitu saja menafikan sistem dan pendidikan yang ada di Barat saat ini,
yang tentunya dalam melihat kesana harus kita landasi dengan konsep dan tujuan
pendidikan Islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadith.
Definisi dan Konsep Pendidikan Islam
Sebelum pembahasan kita menjurus
tentang bagaimana konsep pendidikan Islam sejatinya, ada baiknya jika kita
telusuri beberapa element mendasar yang menyanggah pendidikan Islam tersebut,
sehingga nantinya dapat dikembangkan menjadi sebuah rumusan pendidikan Islam.
Adapun tiga element mendasar yang
terdapat dalam Pendidikan Islam adalahProcess, Content and Recipient (Proses
– Isi – Penerima)[2].
Yang dimaksud dengan proses
adalah proses penanaman (process of instilling) yang
kemudian dirujuk pada metode dan sistem pembelajaran. Jadi jika ada pertanyaan“apakah
itu pendidikan?” maka jawabannya adalah “pendidikan adalah
sebuah proses penanaman sesuatu kepada manusia” (Education is a
process of instilling something into human beings).
Dari definisi pendidikan di atas,
selanjutnya menimbulkan sebuah pertanyaan: “apa yang akan
ditanam?” (What is Instilled?). Dalam pendidikan Islam, yang di
tanam disini adalah adab, dengan demikian yang dimaksud
dengan content atau isi diatas adalah adab.
Setelah pertanyaan “apa
yang akan ditanam” sudah terjawab, ada satu pertanyaan lagi yang perlu
dijawab yaitu: “kepada siapa adab itu ditanamkan?”, dalam
pengertian ini adalah penerima atau recipient dari
pendidikan tersebut, apakah balita, anak-anak, remaja, orang dewasa atau orang
lanjut usia. Dari sinilah kemudian muncul beberapa disiplin ilmu seperti:
psikologi anak, psikologi remaja, pedagogy, andragogy dan lain-lain. Karena
metode penyampaian isi atau content disesuaikan
dengan penerima isiatau content tersebut. Maka
mendidik anak-anak tidak sama dengan mendidik remaja, mendidik remaja
tidak sama dengan mendidik orang dewasa dan seterusnya.
Akan tetapi element yang
terpenting dari ketiga element mendasar yang terdapat dalam pendidikan Islam
tersebut adalah content atau isi. Dan isi
yang dimaksud adalah adab, sebagaimana yang dikatakan oleh
Nabi Muhammad “addabani robbi ahsana ta’dibi”.
Hal tersebut sebagaimana yang
dipahami oleh al-Attas, al-Attas mengajukan definisinya tentang adab sebagai
berikut:
Adab adalah pengenalan dan
pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada
terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan
tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya
masing-masing dalam kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan kapasitas
serta potensi fisik, intelektual dan spiritualnya[3].
Kalau benar-benar difahami dan dijelaskan dengan baik maka konsep ta’dibadalah
konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupunta’lim sebagaimana
yang dipakai pada masa itu (awal Islam). Dia mengatakan: “Struktur konsep ta’dib sudah
mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan
pembinaan yang baik (tarbiyah), sehingga tidak perlu lagi dikatakan
bahwa konsep pendidikan Islam itu adalah sebagaimana yang terdapat dalam tiga
serangkai konotasi “tarbiyah – ta’lim – ta’dib”[4].
Al-Attas menolak peristilahan Tarbiyah dan Ta’lim yang
selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap tentang pendidikan dalam
Islam, baik salah satu (tarbiyah atau ta’lim) atau keduanya (ta’lim
wattarbiyah). Sebab istilah tersebut menunjukkan ketidak sesuaian makna
(term tarbiyah is not quite precise nor yet a correct one for
connoting education in the Islamic sense)[5].
Dan istilah adab, oleh al-Attas di ibarat layaknya sebuah undangan
untuk menghadiri jamuan spiritual inviting to a banquet. Karena
itulah ilmu pengetahuan dalam Islam sangat dimuliakan seperti halnya al-Qur’an,
karena al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Maka dalam
mencari dan menikmati ilmu pengetahuan yang dimuliakan itu, selayaknya didekati
dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia. Sebagaimana yang
dijelaskan al-Attas :
Kitab suci al-Qur’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri
jamuan kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya tentang
al-Qur’an itu adalah dengan menikmati makanan-makanan yang lezat yang tersedia
dalam jamuan kerohanian tersebut. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat
dalam jamuan istimewa itu ditambah dengan kehadiran kawan yang agung dan
pemurah, dan karena makanan tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan
etiket yang suci, maka hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan sekaligus
dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia[6].
Adapun istilah Tarbiyah dalam pandangan al-Attas lebih
menyinggung aspek fisikal dalam mengembangkan tanaman-tanaman, dan hanya
terbatas pada aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan
binatang dan manusia[7]. Oleh sebab itu Tarbiyah hanya
berkaitan dengan pengembangan fisikal dan emosional daripada manusia.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam pada hakekatnya adalah membentuk
manusia yang berbudi pekerti luhur, yang selalu menjalankan Syari’ah dan
hukum-hukum Islam. Sebagaimana yang di ungkapkan Al-Attas:
The aim of Muslim education is the creation of the
“good and righteous man” who worships Allah in the true sense of the term,
builds up the structure of his earthly life according to the sharia (Islamic
law) and employs it to subserve his faith.[8]
Nampaknya pemikiran
al-Attas diatas senada dengan apa yang diungkapkan Al-Ghozali dalam Ihyau
Ulumuddin. Adapun unsur-unsur pembentukan tujuan pendidikan dari al-Ghozali
dapat dilihat dalam pernyataannya berikut ini:
“Sesungguhnya hasil ilmu
itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri
dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi….”[9]
“……Dan ini sesungguhnya
adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang beku
yang tidak berkembang”[10]
Demikianlah tujuan
pendidikan menurut al-Ghazali, yaitu sebagai sarana pendekatan kita kepada
Allah, tujuan menuntut ilmu adalah semakin dekatnya penuntut ilmu itu kepada
Allah, bukan malah semakin jauh dengan sang pencipta, seperti yang terjadi di
Barat. Jangankan semakin dekat, mempercayai keberadaannyapun tidak, inilah yang
menjadi problem.
Akhlak dan moral merupakan suatu
hal yang tidak dapat kita pisahkan dalam pendidikan. Karenanya barang siapa
yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah, maka dia semakin
jauh dari Tuhannya Man Izdada Ilman Walam Yazdad Hudad, Lam Yazdad
Minallahi Illa Bu’dan.
Istilah akhlak (khuluk
atau character) di ambil dari al-Qur’an, sedangkan contoh dari akhlak
sendiri adalah sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi Muhammad. and
you (Muhammad) are on an exalted standard of character [11].
Selain dari itu, istilahkhuluk dalam khazanah Islam klasik di
definisikan sebagai sebuah jiwa yang menentukan tindakan manusia the soul
which determines human actions[12].
Adapun Al- Farobi salah seorang
cendikiawan Islam klasik mendifinisikan khuluksebagai
sebuah jiwa, dimana seseorang mengerjakan kebaikan dan keadilan adalah
menggambarkan sifat kebaikannya. Dan jika ia mengerjakan tindakan jahat dan
buruk, itu menggambarkan sifat keburukannya. The states of the soul by
which a man does good deeds and fair actions are the virtues, and those by
which he does wicked deeds and ugly actions, are the vices[13].
Sedangkan Yahya ibnu ‘Adi (d.974)
memberikan definisi yang mendekatinya, yaitu sebagai sebuah jiwa yang mendorong
pada tindakan tanpa pikiran sebelumnya a state of the soul by which man
performs his actions without thought or deliberation[14].
Definisi Yahya ini, di ikuti oleh
beberpa cendikiawan muslim lainnya seperti Ibnu Miskawaih (d.1030). Demikian
juga dengan cendikiawan muslim lainnya yang menulis tentang etika dalam islam,
seperti al-Ghazali (d. 1111)[15],Fakhr al-Din al-Razi (d. 1209)[16], al-Tusi
(d. 1274)[17], alDawwani (d. 1502)[18], dan yang lainnya.
Adapun moral dan akhlak
dalam cakupan pendidikan, di definisikan oleh sebagaian cendikiawan muslim
sebagai adab. Karena salah satu hal yang melekat dalam konsep
pendididkan Islam adalah penanaman adab (inculcation of adab).
The fundamental element
inherent in the concept of education in Islam is the inculcation of adab (ta’dib),[19]
for it is adab in the all-inclusive sense al-Attas mean, as
encompassing the spiritual and material life of a man that instils the quality
of goodness that is sought after
Akan tetapi, sebagaian besar pemikir pendidikan Barat selalu mengesampingkan
etika dalam tujuan pendidikannya, walaupun ada beberapa dari sarjana Barat yang
memiliki tujuan sama dengan Pendidikan Islam, yaitu membentuk manusia yang
bermoral, akan tetapi sayangnya definisi moral dan etika di Barat dan Islam
berbenturan.
Maka dari itu, dibawah ini
penulis menyelipkan sedikit definisi dan pendangan Barat dan Islam tentang
Etika.
Beberapa Aspek Etika di Barat dan Islam
Tampaknya yang menjadi salah satu problematika dalam penerapan pendidikan Islam
diatas adalah adanya pergeseran faham etika dalam kalangan umat muslim.
Mereka cenderung lebih memaknai etika sebagaimana yang difahami oleh Barat.
Maka dari itu pada sub ini, penulis akan sedikit mencoba menelusuri bagaimana
gagasan etika Barat dan Islam, sehingga diharapkan tujuan dari penerapan
pendidikan Islam bisa terwujud sesuai dengan apa yang di anjurkan dalam
al-Qur’an.
Perkataan “moral” berasal dari
bahasa latin “mores” kata jama’ dari “mos” yang berarti: adat kebiasaan. Dalam
bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila. Sedangkan yang
dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang
tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. jadi sesuai dengan ukuran-ukuran
tindakan yang oleh umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan
tertentu[20]. jadi suatu perbuatan seseorang disuatu negara baik, belum tentu
perlakuan tersebut dinegara lain dianggap baik, disinilah moral bagi Barat
tidak universal.
Adapun perbedaan antara moral dengan etika adalah etika lebih banyak bersifat
teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis[21].
Menurut pandangan ahli-ahli filsafat, etika memandang laku perbuatan manusia
secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran,
sedangkan etika menjelaskan ukuran itu.
Pengarang Abul A’la Maududi mengemukakan adanya moral Islam dalam
bukunya: Ethical Viewpoint of Islam dan memberikan garis tegas
antara moral sekuler dan moral Islam. moral sekuler bersumber dari pikiran dan
prasangka manusia yang beraneka ragam. sedangkan moral Islam bersandar kepada
bimbingan dan petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dalam bahasa Indonesia, selain menerima perkataan akhlaq, etika dan moral yang
masing-masing berasal dari bahasa Arab, Yunani dan Latin, juga dipergunakan
beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama dengan
perkataan akhlaq, ialah: susila, kesusilaan, tata susila, budi pekerti,
kesopanan, sopan santun, adab, perangai, tingkah laku, perilaku dan
kelakukan[22].
Cakupan Etika Islam:
Adapun
cakupan dari etika dalam Islam adalah sebagai berikut:
a)
Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan
menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
b)
Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya
perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah swt. (al-Qur’an) dan ajaran Rasul-Nya
(Sunnah).
c)
Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh
ummat manusia di segala waktu dan tempat
d)
Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fithrah (naluri)
dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman
oleh seluruh manusia
e)
Etika Islam mengatur dan mengarahkan fithrah manusia ke jenjang akhlaq yang
luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah
swt. menuju keridlaan-Nya. dengan melaksanakan etika Islam niscaya akan
selamatlah manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan yang keliru dan
menyesatkan[23].
Berbeda dengan etika dalam
pandangan Barat, Barat beranggapan bahwa Setiap seni, ilmu terapan, penelitian
sitematis, dan tindakan serta pilihan tampaknya bertujuan baik. Yang baik oleh
karenanya didefinisikan dengan tepat sebagai sesuatu dimana semua hal mengarah
kesana[24].
Dan istilah “baik” menurut Barat
memiliki dua arti yang berbeda: (1). Hal yang secara intrinsik baik dan (2).
Hal yang baik karena kondusif terhadap baik secara intrinsik.
Akan tetapi, doktrin (platonis) tidak menunjukkan setiap jenis baik. Hanya hal
yang diinginkan dan disukai demi dirinya sendiri sajalah yang disebut “baik”
dengan menunjuk satu bentuk (form) saja[25].
Disinilah dapat dilihat ketidak
universalan etika dalam sudut pandang Barat, dan dapat dikatakan bahwa etika
atau ilmu etika di Barat bermasalah, sebagaimana yang dikatakan Nietzhe, bahwa
ilmu moral “Science of Morals” itu sendiri bermasalah, bahkan Schopenhauer[26]
menurutnya di anggap gagal dalam membangun moral[27].
Karena memang demi suatu
tujuanlah semua itu di Barat dilakukan. Inilah yang baikyang
diperoleh lewat tindakan menurut Barat. Jika ada banyak tujuan, akan ada banyak yang
baik yang dapat diperoleh lewat tindakan[28].
Akan tetapi, tidak semua tujuan dalam setiap tindakan kita akan tercapai. Jika
ada beberapa tujuan, mestinya ada satu yang merupakan tujuan yang paling final
dan paling sempurna di antara banyak tujuan tersebut.
Jadi sudah jelas bahwa ukuran baik atau tidaknya tingkah laku seseorang di
Barat itu di ukur dari segi kepantasan prilaku tersebut di masyarakat, jika
masyarakat pada waktu itu menganggapnya prilaku seseorang tersebut sebagai
sebuah kewajaran, maka itu adalah ukuran kebaikan di Barat.
Adapun dalam Islam, ukuran kebaikan dan keburukan sudah jelas tertera dalam
al-Qur’an, seperti halnya keburukan menurut al-Qur’an bisa dikategorikan
sebagai hal yang haram, luka, penderitaan, dan kemalangan.
“……in the Qur’an, showing
that su’ in the basic sense may be applied to any kind of
harm, injury, affliction, and misfortune[29]”.
Kesimpulan
Akan tetapi
dalam perjalanannya, konsep dan tujuan pendidikan seperti yang telah dipaparkan
diatas tidak terlepas dari pro dan kontra oleh sebagaian pemikir pendidikan
Islam, sehingga menimbulkan sedikit ganjalan dalam aplikasinya.
Mereka yang tidak sepaham, lebih dikarenakan pemikiran mereka terkontaminasi
oleh paham Barat yang hanya ingin mencetak siswa-siswa yang cerdas, kreatif dan
kritis, dengan jalan kebebasan berfikir. Sehingga muncul sebuah selogan “karena
kebebasanlah siswa akan berfikir”
Di aspek lain, yang menjadi batu ganjalan dalam penerapan konsep dan tujuan
pendidikan Islam seperti yang telah di ijtihadkan oleh beberapa cendikiawan
muslim kita adalah adanya pergeseran faham etika dalam benak umat muslim saat
ini, sehingga ini menjadi salah satu faktor dari banyak faktor kenapa hingga
saat ini pendidikan Islam belum sepenuhnya
teraplikasi secara utuh di masyarakat.TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Wacana Pendidikan Islam di Indonesia
Ditulis oleh chairuman
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://rajahafizd.blogspot.com/2013/05/wacana-pendidikan-islam-di-indonesia.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh chairuman
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar