Kebijakan Tentang Pendidikan di Indonesia
Senin, 20 Mei 2013
4
komentar
TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN PENDIDIKAN
a. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan mempunyai
makna yang begitu luas dan bermacam-macam, sehingga perlu ditinjau dari
berbagai macam sudut pandang.
1.Kebijakan pendidikan dalam
kebijakan publik
Pada makalah ini dipahami makna
tentang kebijakan pendidikan, yaitu kebijakan pendidikan sebagai kebijakan
publik dan kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik atau dalam
kebijakan publik. Pada pembahasan disini, kebijakan pendidikan merupakan bagian
dari kebijakan publik. Pemahaman ini dimulai dari ciri-ciri kebijakan publik
secara umum.
Pertama, kebijakan
publik adalah kebijakan yang dibuat oleh Negara, yaitu berkenaan dengan lembaga
ekskutif, legislatif, dan yudikatif.
Kedua, kebijakan
publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik,
dan bukan mengatur orang seorang atau golongan.
Disini kebijakan publik dipahami
sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh intitusi Negara dalam rangka
mencapai visi dan misi Negara.
Kebijakan pendidikan adalah
kebijakan publik di bidang pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen,
Jhon Codd, dan Anne-Mari O’Neil, kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi
keunggulan, bahkan eksistensi, bagi Negara-bangsa dalam persaingan global, sehingga
kebijakan perlu mendapatkan prioritas utama dalam ere-globalisasi. Salah satu
argument utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Dmokrasi
yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan.
Sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, kebijakan pendidikan dipahami sebagai bagian dari kebijakan publik,
yaitu kebijakan public dibidang pendidikan. Maka kebijakan pendidikan merupakan
kebijakan pendidikan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan
Negara-bangsa di bidang pendidikan, sebagai salah satu dari tujuan pembangunan
Negara bangsa secara keseluruhan.
2. Kebijakan Pendidikan dan
Gender
Masyarakat manusia secara
tradisional didominasi oleh kekuasaan maskulin. kekuasaan maskulin itu
diperkuat oleh berbagai mitos, tradisi untuk membordinasikan perempuan dalam
struktur kehidupan bermasyarakat. Tidak mengherankan apabila terdapat banyak
kebijakan termasuk kebijakan-kebijakan publik dan kebijakan pendidikan yang
merugikan kaum perempuan. Bukankah manusia itu dilahirkan dari seorang
perempuan, dan seorang ibu adalah seorang pendidik alamiah yang utama dan
pertama oleh sebab itu, perempuan, ibu, secara genealogis merupakan salah satu
daristakeholder pendidikan alamiah disamping keluarga, masyarakat
dan Negara.
Dalam UU Sistem Pendidikan
Nasional telah diberikan kesempatan yang sama kepada pria dan perempuan untuk
memperoleh ilmu pengetahuan.
3. Kebijakan pendidikan
menurut Carte V. Good (1959) menyatakan,Educational policy
is judgment, derived from some system of values and some assessment of
situational factors, operating within institutionalized education as a general
plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational
objectives.
Pengertian pernyataan di atas
adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai
dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga
sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan
pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.
4. Hough (1984) sebagaimana
dikutip oleh Mudjia Rahardjo juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan
bias menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau usulan, program-program,
keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau
peraturan-peraturan.
5. Kebijakan pendidikan
berdasarkan hakikat pendidikan
Kebijakan pendidikan merupakan
keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan
yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkaan
tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu
tertentu.
b. Dasar dan Tujuan Kebijakan
Pendidikan
Dasar kebijakan pendidikan
ditinjau dari segi sosiologis adalah selain gambaran manusia sebagai makhluk
sosial manusia adalah makhluk yang dapat dididik dan harus mendapatkan apabila
proses pendidikan tersebut sesuai dengan hakikat manusia yang bebas.
Kebebasan manusia mempunyai dua
aspek yaitu kebebasan dari dankebebasan untuk. Kebebasan
bukanlah merupakan kebebasan yang absolut tanpa mengenal batasibatas tetapi
kebebasan dari lingkungan kekuasaan.
Kebijakan pendidikan di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Untuk menentukan pilihan dalam
merumuskan kebijakan dalam pendidikan, perlu pemahaman tentang
pandangan-pandangan terhadap tujuan kebijakan, yaitu: (1) tujuan kebijakan
dilihat dari tingkatan masyarakat, (2) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan
politisi, dan (3) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan ekonomi.
1). Tujuan Kebijakan
Dilihat dari Tingkatan Masyarakat
Tujuan kebijakan dilihat dari
tingkatan masyarakat, dapat ditelusuri dari hakekat tujuan pendidikan yang
universal. Pendidikan pada awalnya adalah suatu proses penyempurnaan harkat dan
martabat manusia yang diupayakan secara terus menerus. Di mana pun proses
pendidikan terjadi, menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai nilai-nilai yang
dalam, karena jika kita berbicara pendidikan pada hakekatnya membicarakan
harkat dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan.
2). Tujuan Kebijakan
Dilihat dari Tingkatan Politisi
Tujuan kebijakan dilihat dari
tingkatan politisi, dapat ditelusuri dari sumbangan pendidikan terhadap
perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat
individual, pendidikan membantu peserta didik untuk mengembangkan sikap dan
keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar
dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak
dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain
itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab
terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang
berpendidikan.
Pada masyarakat pluralistik,
tujuan pendidikan yang lebih praktis ternyata masih sangat bervariasi, yang
mengakibatkan tidak adanya kesamaan bahasa dan terminologi terhadap
tujuan-tujuan kebijakan pendidikan tidak kunjung selesai. Orang tua,
masyarakat, dan pemerintah sama-sama mempunyai tangung jawab dalam pelaksanaan
pendidikan. Akan tetapi, tatkala kebijakan penyelenggaraan pendidikan menjadi
otoritas terpusat pada pemerintah pusat, sehingga praktek manajemen pendidikan
pada level pusat, regional, lokal dan kelembagaan pun menjadi sarana pencapaian
tujuan politik yang diarahkan pada reproduksi ideologi kelompok masyarakat yang
dominan.
3). Tujuan Kebijakan Dilihat dari
Tingkatan Ekonomi
Tujuan kebijakan dilihat dari
tingkatan ekonom, dapat ditelusuri dari kesadaran pentingnya pendidikan sebagai
investasi jangka pangjang, dengan alasan, bahwa:
Pertama, pendidikan
adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi.
Pada praksis-praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi
pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga
tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk
perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan
berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif. Secara umum terbukti bahwa semakin
berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini
dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif dibandingkan
dengan yang tidak berpendidikan.
Kedua, investasi
pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi
dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah
perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan
dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang memasuki dunia
kerja. Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan
pendidikan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil.
c. Unsur-unsur Pokok
Kebijakan Pendidikan
Kerangka analisis yang ditujukan
pada proses kebijakan mencakup paling tidak mengandung empat unsur yang harus
diperhatikan, yaitu: (1) unsur masalah; (2) tujuan; (3) cara kerja atau
cara pemecahan masalah; dan (4) otoritas publik. Unsur masalah berkaitan
dengan bidang-bidang garapan pemerintahan seperti pendidikan, kesejahteraan
masyarakat, kesehatan masyarakat, pengembangan wilayah, hubungan luar negeri,
pertahanan dan keamanan, perpajakan, kependudukan dan lain-lain; Unsur ini
lebih dikenal dengan bidang ideologi, politik, sosial-budaya, pertahanan dan
keamanan; Unsur tujuan itu berkenaan dengan sasaran yang
hendak dicapai melalui program-program yang telah ditetapkan oleh negara.
Unsur cara kerjaberkaitan dengan prosedur logis dan sistematis
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Unsur otoritas berkenaan
dengan aparatur yang diberi kepercayaan untuk melakukan aktivitas pemerintahan.
Aspek yang harus dikaji dalam
analisis kebijakan pendidikan adalah konteks kebijakan. Ini harus dilakukan
karena kebijakan tidak muncul dalam kehampaan, melainkan dikembangkan dalam
konteks seperangkat nilai, tekanan, kendala, dan dalam pengaturan struktural
tertentu. Kebijakan juga merupakan tanggapan terhadap masalah-masalah tertentu,
kebutuhan serta aspirasi yang berkembang.
Aspek selanjutnya yang harus
dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah pelaku kebijakan. Aktor
kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi
dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau
lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan.
Aktor tak resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang
terdiri dari kelompok kepentingan, partai politik, dan media.
Selanjutnya, dalam memahami suatu
proses kebijakan, terdapat aspek yang sangat penting yaitu implementasi
kebijakan. Tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan adalah pada tahap
implementasi. Menurut Dunn (1994) seperti yang dikutip Yoyon Bahtiar Irianto,
implementasi kebijakan lebih bersifat kegiatan praktis, termasuk di dalamnya
mengeksekusi dan mengarahkan. Dengan demikian, implementasi kebijakan dapat
disebut sebagai rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah sebuah kebijakan
ditetapkan, baik yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah-langkah yang
stratejik, maupun operasional yang ditempuh guna mewujudkan suatu program atau
kebijakan menjadi kenyataan, guna mencapai sasaran dari kebijakan yang telah
ditetapkan tersebut. Tingkat keberhasilan proses ini akan dipengaruhi berbagai
unsur, baik yang bersifat mendukung atau menghambat, serta lingkungan, baik
fisik, sosial maupun budaya.
Berhasil atau tidaknya suatu
kebijakan akan ditentukan oleh banyak faktor. misalnya, mengemukakan
faktor-faktor tersebut antara lain: (1) kompleksitas kebijakan yang telah
dirumuskan, (2) kejelasan rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah, (3)
sumber-sumber potensial yang mendukung, (4) keahlian pelaksanaan kebijakan, (5)
dukungan dari khalayak sasaran, (6) efektifitas dan efisiensi birokrasi.
Keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi
kemampuannya secara nyata dalam mengoperasikan program-program yang telah
dirancang sebelumnya. Sebaliknya proses implementasi kebijakan dievaluasi
dengan cara mengukur dan membandingkan antara hasil akhir program-program
tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.
d. Langkah-langkah Umum
Kebijakan Pendidikan
Prof. Hargaves dari London
University menyatakan bahwa ilmu pendidikan mandeg dan tidak berkembang karena
tidak mendapatkan input dari praktik pendidikan. Oleh sebab itu, ilmu
pendidikan hanya berada pada tataran idealistik tanpa teruji dilapangan.
Hakikat ilmu pendidikan berada dalam proses pendidikan yang terjadi dalam
interaksi serta dialog antara pendidik dan peserta didik dalam masyarakat yang
berbudaya. Keadaan ilmu pendidikan di Indonesia juga dalam status stagnasi
karena terputus hubungannya dengan praktik pendidikan. Dengan sendirinya banyak
kebijakan pendidikan di Indonesia bukan di tentukan oleh data dan informasi di
lapangan, tetapi berdasarkan lamunan atau dengan menggunakan epistima-epistima
ilmu lainnya yang tidak relevan dengan ilmu pendidikan yang terfokus kepada
kebutuhan peserta didik.
Kebijakan pendidikan yang
berdasarkan fakta serta informasi telah mendapat input dari kebutuhan
masyarakat. Selanjutnya, kebijakan pendidikan tersebut akan menentukan
masalah-masalah yang perlu diteliti. Hasil riset yang telah divalidasi dapat
disebarluaskan dalam berbagai eksperimen. Eksperimen pendidikan inilah yang
akan dapat membuahkan kebijakan pendidikan yang telah tervalidasi. Demikian
seterusnya terjadi suatu siklus yang berkesinambungan antara kebijakan
pendidikan, praktik pendidikan, riset dan eksperimen.
Pelaksanaan serta evaluasi
kebijakan pendidikan menuntut peranan aktif dari para pendidik professional
karena dari merekalah dapat tersusun hasil-hasil kebijakan yang akan diriset
serta mendeseminasikan kebijakan pendidikan yang ternyata didukung oleh
fakta-fakta positif.
Kebijakan pendidikan yang benar
yaitu bilamana kebijakan tersebut telah di-test kebenarannya di
lapangan.
Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari
bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut dirumuskan dan diinstruksikan
dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan
(sekolah) yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang
diinstruksikan dari pemerintah pusat atau pun pemerintah daerah.
Kebijakan-kebijakan pendidikan berdasarkan instruksi dari atas tidak mempunyai
akar di lapangan sehingga sukar untuk ditentukan keberhasilannya. Selain,
kebijakan pendidikan yang tidak berakar tersebut akan melahirkan budaya ABS
(Asal Bapak Senang) dengan laporan-laporan dari bawah yang menyatakan
keberhasilan pelaksanaan kebijakan.
Dalam konteks implementasi
kebijakan desentralisasi, Rondinellli & Cheema, memperkenalkan teori
implementasi kebijakan yang orientasinya lebih menekankan kepada hubungan
pengarih faktor-faktor implementasi kebijakan desentralisasi terhadap lembaga
daerah di bidang perencanaan dan administrasi pembangunan. Menurut konsep
tersebut, ada dua pendekatan dalam proses implementasi kebijakan yang sering
dikacaukan:
Pertama, the compliance
approach, yaitu yang menganggap implementasi itu tidak lebih dari soal
teknik, rutin. Ini adalah suatu proses pelaksanaan yang tidak mengandung
unsur-unsur politik yang perencanaannya sudah ditetapkan sebelumnya oleh para
pimpinan politik (political leaders). Para administrator biasanya
terdiri dari pegawai biasa yang tunduk kepada petunjuk dari para pemimpin
politik tersebut.
Kedua, the political
approach. Pendekatan yang kedua ini sering disebut sebagai pendekatan
politik yang mengandung “administration as an intgral part of the
policy making process in which polities are refined, reformulated, or even
abandoned in the process of implementing them.”
Administrasi dan manajemen
merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari proses penetapan
kebijakan. Kebijakan dibuat karena tuntutan administrasi, dan pada saat
kebijakan akan diimplementasikan di situlah manajemen berperan. Dimana
kebijakan diubah, dirumuskan kembali, bahkan menjadi beban yang berat dalam
proses implementasi. Jadi, membuat implementasi menjadi kompleks dan tidak bisa
diperhitungkan (unpredictable).
Faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan belum mendapat perhatian yang serius di Indonesia,
karena kebanyakan para perumus kebijakan mengenai desentralisasi dan otonomi
daerah lebih suka menggunakan pendekatan the compliance approach daripada the
political approach. Mereka beranggapan apabila suatu kebijakan sudah
ditetapkan dan sudah diumumkan menjadi suatu kebijakan publik serta-merta akan
dapat diimplementasikan oleh para pegawai pelaksana secara teknis tanpa ada
unsur-unsur atau kendala politik apapun, dan hasil yang diharapkan segera akan
dicapai. Padahal, pada kenyataannya tidaklah demikian.
Merujuk konsep-konsep seperti
dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan di
Indonesia menyangkut program dan kebijakan lainnya yang bukan hanya sekedar
proses teknis dalam melaksanakan perencanaan yang sudah ditetapkan, melainkan
merupakan suatu proses interaksi politik yang dinamis dan tidak dapat
diperhitungkan. Beragam faktor politik, sosial, ekonomi, perilaku dan
organisasi kesemuanya sangat mempengaruhi seberapa jauh kebijakan yang sudah
ditetapkan dapat diimplementasikan sesuai dengan yang diharapkan, dan sampai
seberapa jauh pula implementasi tersebut mencapai tujuan-tujuan dari kebijakan
itu.
Di samping itu, analisis
kebijakan pendidikan yang digunakan di Indonesia sepertinya lebih banyak
menggunakan model analisis kebijakan politik-publik yang didasarkan pada
asumsi-asumsi politis. Indikatornya dapat dikemukakan:
Pertama, ketidakjelasan
dalam asumsi-asumsi yang digunakan terhadap permasalahan- permasalahan
pendidikan. Kompleksitas dan heterogenitas jenis, sifat, dan situasi yang
disebut sekolah selalu diidentikan dengan pendidikan. Sehingga tidak heran
manakala membicarakan sistem pendidikan ternyata yang dibahas adalah sistem
persekolahan; Menganalisis kebijakan pendidikan yang dianalisis ternyata
kebijakan penyelenggaraan persekolahan. Akibatnya, paradigma pendidikan yang
universal dipandang secara sempit, dan lebih banyak adaptif daripada inisiatif.
Kedua, dalam
melakukan analisis kebijakan pendidikan kurang kontekstual sebagai suatu
kebijakan yang utuh dan terintegrasi secara empirical, evaluative, normative,
predictive. Sebagai suatu produk, kebijakan pendidikan tidak diformulasikan
berdasarkan elemen-elemen yang perlu diintegrasikan secara “sinergy”, bukan
sebagai komponen yang “terdikotomi”. Artinya, apakah rumusan-rumusan kebijakan
tersebut telah memenuhi kriteria kebijakan yang utuh atau masih ada butir-butir
yang lepas dari ruang lingkupnya.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Kebijakan Tentang Pendidikan di Indonesia
Ditulis oleh chairuman
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://rajahafizd.blogspot.com/2013/05/kebijakan-tentang-pendidikan-di.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh chairuman
Rating Blog 5 dari 5
4 komentar:
Troubles Related To Fixing The 2-Factor Authentication
Are you having trouble in fixing the Binance two-factor authentication error and security of your account is in jeopardy? If you are really concerned about your security and want to resolve this Binance two-factor authentication error on the immediate basis, you can always call on Binance customer support number which is always functional and the Whenever you are in fix, the team is going to help you at every step and fix your troubles immediately from the roots. They are going to assist so that you can easily eliminate all steps at one time.
Any Problems With Cashapp Account
Cashapp happens to be the ruler of the crypto industry and as per the recent reports, it is the second largest exchange as per the daily trading volume. While using the exchange, users get into trouble and face errors like password issues, login issues, signup issues etc. To deal with all such issues is quite difficult for newcomers, therefore, to handle all of them, you can always call on Cashapp support phone number which is functional and users can have conversation to obtain results which are required. For more details visit https://www.cryptophonesupport.com/cash-app/ or call us 1-877-846-2817.
Presently, the enactment code is the thing that you will enter when you go to Activate primevideo mytv and sign in to your Prime video 7-days free preliminary or paid record in the event that you have updated.
primevideo mytv enter code in your tv? Just follow the easy method to register amazon primevideo.com/mytv on your TV or device. For more info visit - amazon.com/mytv enter code.
primevideo mytv.
amazon.com/mytv enter code.
Posting Komentar